Inilah Abdulloh bin Marwan. Ketika maut datang kepadanya ia di liputi rasa payah. Nafasnya tersengal sengal. Ia meminta agar jendela kamarnya dibuka. Ketika itu ia melihat seorang fakir tukang cuci berada dikiosnya. Abdulloh menangis, ia berkata "Duhai andai aku menjadi seorang tukang cuci, tukang kayu atau kuli panggul, Alangkah indahnya kalau aku tak pernah memegang urusan kaum muslimin sedikitpun. setelah itu ia meninggal. Sungguh menakjubkan. Mereka bermalam ditengah gunung yang membentenginya.Ketika ajal menjemput benteng tak kuasa menahannya. Berpindah dari kursi kewibawaan menuju sebuah liang lahat. Alangkah buruknya tempat itu. ketika memanggil, setelah dikubur Dimana sanak... dimana kerabat? kemana perginya wajah wajah yang menggemaskan yang kini tenggelam dalam kepayahan? Kemana parapemanah? Mengapa mereka tidak menghalau panah kematian yang datang menghujam? Di mana para kekasih, tetangga dan semuanya? Kemana para tabib? Tak ada daya dan kuasa. Para kerabat itu tidak membahagiakanmu. Bahkan menyerahkanmu pada liang lahat. Betapa buruknya kelakuan mereka. Mengapa mereka tak lagi menyebut nyebut namamu, bahkan sibuk membagi bagi harta. Betapa kuburanmu mengerikan tak ada kasih sayang. Hanya rasa takut dan gelisah yang menemanimu. Mengapa tak ada yg datang kekuburmu. Bahkan tak ada seorangpun yang mau lewat. Mereka menjauhi kubur, karena tahu wajahmu memburuk dimakan cacing yang lama tak makan dan minum Dan terus menggerogotimu. Sementara peti peti hartamu, kini berpisah darimu. Bahkan jatuh ketangan musuh. Begitulah manusia membuat pertahanan dari kematian akhirnya berpisah dengan keluarga dan pindah kedunia lain menuju alam dimana amal amal menjadi pendampingnya. Dan catatan amal menjadi sesuatu yang dibencinya. Padahal Rob mereka tidak pernah menzhalimi seorang hamba pun.